Sanksi
baru yang dijatuhkan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan negara mitra
mereka, membuat Rusia tidak bisa lagi bersabar.
Melalui Wakil Perdana Menteri Rusia, Dmitry Rogozin, Rusia menyatakan akan membalas sanksi baru yang dijatuhkan kepada negaranya.
Dilansir dari stasiun berita Channel News Asia, Selasa 29 April 2014, sanksi baru itu berupa penambahan tujuh nama pejabat Rusia lainnya dan 17 perusahaan yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin yang dimasukkan ke dalam daftar pembatasan akses visa. Bahkan, Jepang sudah menolak memberikan visa untuk 23 warga Rusia.
Sementara itu, untuk nama perusahaan, AS dan negara-negara UE, memasukkan nama Rosneft, perusahan minyak top asal Rusia. Perusahaan itu juga merupakan salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia.
AS dan negara mitranya juga membatasi ekspor teknologi canggih milik Rusia.
"Apabila, tujuan mereka untuk menghancurkan sektor bangunan roket Rusia, maka secara otomatis, hal tersebut juga bisa berdampak terhadap para astronot mereka di stasiun luar angkasa internasional (ISS)," ujar Rogozin.
ISS dioperasikan bersama antara Rusia, AS, Eropa, Jepang, dan Kanada. Baik astronot dan kosmonot bergantung kepada roket Soyuz milik Rusia agar dapat mengirimkannya ke ISS dan Bumi. Hal itu dilakukan sejak NASA membatalkan pesawat ulang aliknya pada 2011.
Moskow marah dengan adanya sanksi yang menyasar kepada teknologi tinggi milik Rusia dan mengancam akan membalasnya.
"Sanksi akan selalu menjadi sebuah bumerang yang akan kembali dan lebih menyakitkan apabila mengenai pihak yang melemparnya," kata Rogozin dalam sebuah kunjungan ke Semenanjung Crimea.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri, Sergei Ryabkov, dalam sebuah wawancara dengan koran online, Gazeta.ru, mengatakan, pembatasan teknologi canggih milik Rusia ke AS merupakan sebuah pukulan cukup keras.
"Ini merupakan langkah untuk menghidupkan kembali sebuah sistem yang diciptakan pada 1949 ketika negara-negara barat menurunkan tirai besi dengan cara memotong pasokan teknologi canggih ke Uni Soviet dan negara lainnya," ujar Ryabkov.
Kekesalan Rusia bertambah ketika Kemenlu Negeri Beruang Merah itu mengetahui bahwa nama Kepala Staf Jenderal Pertahanan Tentara Rusia dan Wakil Menteri Pertahanan, turut berada di dalam daftar 15 warga Rusia dan Ukraina yang disasar untuk dibekukan asetnya. Mereka pun diberikan larangan bepergian.
Oleh sebab itu, Rusia bersumpah tidak akan tinggal diam terhadap tindakan AS dan sekutunya yang sewenang-wenang.
Sementara itu, di sisi berbeda, Ukraina dan negara-negara Uni Eropa sadar betul bahwa mereka masih bergantung terhadap pasokan gas dari Rusia. Oleh sebab itu, mereka khawatir Moskow akan membalas dengan menghentikan pasokan energi yang penting itu.
Terkait pasokan gas, UE akan menggelar pembicaraan dengan Rusia dan Ukraina yang berlangsung di kota Warsawa, Polandia pada Jumat, 2 Mei 2014.
Melalui Wakil Perdana Menteri Rusia, Dmitry Rogozin, Rusia menyatakan akan membalas sanksi baru yang dijatuhkan kepada negaranya.
Dilansir dari stasiun berita Channel News Asia, Selasa 29 April 2014, sanksi baru itu berupa penambahan tujuh nama pejabat Rusia lainnya dan 17 perusahaan yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin yang dimasukkan ke dalam daftar pembatasan akses visa. Bahkan, Jepang sudah menolak memberikan visa untuk 23 warga Rusia.
Sementara itu, untuk nama perusahaan, AS dan negara-negara UE, memasukkan nama Rosneft, perusahan minyak top asal Rusia. Perusahaan itu juga merupakan salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia.
AS dan negara mitranya juga membatasi ekspor teknologi canggih milik Rusia.
"Apabila, tujuan mereka untuk menghancurkan sektor bangunan roket Rusia, maka secara otomatis, hal tersebut juga bisa berdampak terhadap para astronot mereka di stasiun luar angkasa internasional (ISS)," ujar Rogozin.
ISS dioperasikan bersama antara Rusia, AS, Eropa, Jepang, dan Kanada. Baik astronot dan kosmonot bergantung kepada roket Soyuz milik Rusia agar dapat mengirimkannya ke ISS dan Bumi. Hal itu dilakukan sejak NASA membatalkan pesawat ulang aliknya pada 2011.
Moskow marah dengan adanya sanksi yang menyasar kepada teknologi tinggi milik Rusia dan mengancam akan membalasnya.
"Sanksi akan selalu menjadi sebuah bumerang yang akan kembali dan lebih menyakitkan apabila mengenai pihak yang melemparnya," kata Rogozin dalam sebuah kunjungan ke Semenanjung Crimea.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri, Sergei Ryabkov, dalam sebuah wawancara dengan koran online, Gazeta.ru, mengatakan, pembatasan teknologi canggih milik Rusia ke AS merupakan sebuah pukulan cukup keras.
"Ini merupakan langkah untuk menghidupkan kembali sebuah sistem yang diciptakan pada 1949 ketika negara-negara barat menurunkan tirai besi dengan cara memotong pasokan teknologi canggih ke Uni Soviet dan negara lainnya," ujar Ryabkov.
Kekesalan Rusia bertambah ketika Kemenlu Negeri Beruang Merah itu mengetahui bahwa nama Kepala Staf Jenderal Pertahanan Tentara Rusia dan Wakil Menteri Pertahanan, turut berada di dalam daftar 15 warga Rusia dan Ukraina yang disasar untuk dibekukan asetnya. Mereka pun diberikan larangan bepergian.
Oleh sebab itu, Rusia bersumpah tidak akan tinggal diam terhadap tindakan AS dan sekutunya yang sewenang-wenang.
Sementara itu, di sisi berbeda, Ukraina dan negara-negara Uni Eropa sadar betul bahwa mereka masih bergantung terhadap pasokan gas dari Rusia. Oleh sebab itu, mereka khawatir Moskow akan membalas dengan menghentikan pasokan energi yang penting itu.
Terkait pasokan gas, UE akan menggelar pembicaraan dengan Rusia dan Ukraina yang berlangsung di kota Warsawa, Polandia pada Jumat, 2 Mei 2014.
Dalam pertemuan itu,
ketiga pihak akan mencari jalan keluar untuk menyelesaikan tunggakan
utang pembayaran gas Ukraina dengan perusahaan Gazprom senilai US$3,5
miliar atau Rp40 triliun.
Putin sempat mengancam akan menghentikan pasokan gas ke Ukraina, apabila mereka tidak segera membayarnya.
Pihak barat mengklaim alasan mereka kembali memberikan sanksi bagi Rusia, karena Negeri Beruang Merah dinilai gagal memenuhi poin-poin yang tertuang dalam perjanjian damai Jenewa yang disepakati 17 April 2014.
Rusia dianggap tidak mampu mengendalikan tentara militan yang pro terhadap negara itu, sehingga mereka masih bercokol di gedung-gedung milik publik di bagian timur Ukraina.
Putin sempat mengancam akan menghentikan pasokan gas ke Ukraina, apabila mereka tidak segera membayarnya.
Pihak barat mengklaim alasan mereka kembali memberikan sanksi bagi Rusia, karena Negeri Beruang Merah dinilai gagal memenuhi poin-poin yang tertuang dalam perjanjian damai Jenewa yang disepakati 17 April 2014.
Rusia dianggap tidak mampu mengendalikan tentara militan yang pro terhadap negara itu, sehingga mereka masih bercokol di gedung-gedung milik publik di bagian timur Ukraina.
Sumber : Viva
No comments:
Post a Comment