Kementerian Pertahanan Amerika Serikat
akan terus meninggalkan perang konvensional yang banyak melibatkan
manusia, ke perang modern lewat pengerahan pesawat tak berawak atau
drone.
Walau dinilai sebagai cara perang paling
efektif, perang dengan drone memiliki kelemahan mendasar yakni mahalnya
biaya produksi pesawat.
Namun tak lama lagi masalah ini diyakini
segera teratasi dengan penggunaan printer 3D. Dengan kemampuan yang
dimilikinya, teknik pencetakan secara 3D diharapkan mampu menggantikan
produksi drone biasa yang perlu waktu cukup lama dan mahal.
Apalagi jika dibandingkan dengan pembuatan pesawat tempur atau angkut militer konvensional yang berlaku saat ini.
Dalam laporan berjudul "Process Over
Platforms–A Paradigm Shift in Acquisition Through Advanced
Manufacturing" dikatakan, produksi drone murah nan cepat perlu dilakukan
sebab perang masa depan tak lagi fokus pada pengerahan tentara di darat
atau jet tempur versus jet tempur, tapi juga perang udara drone lawan
drone.
Dengan kata lain, perang masa depan
adalah perang obyek angkasa (drone) melawan obyek lain, tanpa perlu
melihat besar kecilnya negara. Sepanjang memiliki dana besar untuk
mengoperasikan puluhan atau bahkan ratusan "squadron" drone, negara
tersebut bakal disegani.
Tapi untuk sementara, kekuatan udara jenis ini baru bisa diwujudkan oleh Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris.
Sebagai perbandingan, untuk membuat satu
unit pesawat tempur mutakhir F-4 Phantom II diperlukan waktu selama 14
bulan, sementara F-22 Raptor waktu pembuatannya lebih lama lagi yakni 41
bulan.
Belum lagi harganya yang sangat mahal per unit F-4 Phantom II
berharga USD 21,4 juta atau Rp 246 miliar (1 USD = Rp 11.500).
F-22 bahkan lebih mahal lagi USD 174,5 atau Rp 2 triliun, sebut sumber situs softpedia yang dikutip Sabtu (1/3).
Sumber : jpnn
No comments:
Post a Comment