Dalam laporan yang diberi
judul "Warga Indonesia dan Konflik Suriah" menyebut organisasi yang
paling aktif di Suriah sejak konflik di sana pecah yaitu Jemaah
Islamiyah (JI).
Dilansir dari Harian Bangkok Post, Sabtu 1 Februari 2014,
menyebut terdapat perubahan pola bagi kelompok militan Indonesia yang
sebelumnya memilih berjuang di Afganistan di akhir 1980-an dan 1990-an
atau pergi ke area Palestina untuk memberi dukungan moral dan keuangan
bagi warga Muslim di sana.
"Konflik di Suriah telah terekam dalam ingatan kelompok ekstrimis
Indonesia ketimbang perang di negara lainnya," ujar institut yang
dipimpin pengamat tindak teror, Sidney Jones.
Sebuah data yang dilansir dalam laporan setebal 13 halaman itu
menyebut jumlah Warga Negara Indonesia yang kini berada di Suriah
sekitar 50 orang. Data ini diperoleh IPAC dari Kementerian Luar Negeri
pada Desember 2013.
Sementara jumlah pejuang asing yang berada di Suriah mencapai delapan ribu orang dari 74 negara.
"Namun, jumlah ini bisa terus bertambah. Tim pemberi bantuan
kemanusiaan ikut terlihat memfasilitasi masuknya para pejuang itu ke
Suriah," ungkap Jones dilansir laman resmi IPAC.
Menurut IPAC, mereka masuk ke Suriah melalui Turki hingga ke
perbatasan Suriah. Jalur ini, dinilai IPAC relatif mudah untuk dilalui
warga Indonesia.
Laporan itu turut menyebut sayap pemberi bantuan kemanusiaan dari
JI, Kelompok Masyarakat Hilal Ahmar Indonesia, telah mengirimkan 10
delegasi ke Suriah membawa uang tunai dan bantuan medis dan
didistribusikan kepada para pejuang di sana. Tujuannya untuk membuka
jalur bagi warga Indonesia yang ingin ikut berjuang di sana.
Namun, JI membantah laporan yang menyebut konflik Suriah membantu
kemampuan anggota JI dalam menggalang dana dan merekrut anggota.
IPAC menyebut lima dari tujuh pria alumni Pesantren Al-Mukmin yang
didirikan Ustad Abu Bakar Bashir, telah berangkat ke Suriah. Menurut
IPAC keterlibatan warga Indonesia dalam peperangan di Suriah dapat
berdampak secara domestik.
Bagi mereka yang kembali dari Suriah, dikhawatirkan dapat
menanamkan kehidupan dan kepemimpinan baru dalam gerakan teror yang
kini mulai melemah.
Mereka, bahkan dapat kembali menghubungkan Indonesia kepada
gerakan jihad global yang sebagian besar telah runtuh sejak pemimpin
gembong teroris, Noordin M. Top tewas di tangan polisi anti teror
densus 88.
Hal itu terbukti ketika pada Januari kemarin, setelah polisi Anti
Teror Densus 88 berhasil melumpuhkan enam anggota kelompok Islam
militan bernama Mujahidin Indonesia Barat, otoritas setempat
mengumumkan salah satu dari mereka telah berencana akan berangkat ke
Suriah. Kesaksian dari seorang anggota kelompok tersebut yang selamat
juga mengatakan hal serupa.
Dia mengatakan keenamnya telah berencana pergi ke Suriah dan telah
merampok sebuah bank untuk membiayai perjalanan itu. Satu orang
anggota bahkan telah tiba di Suriah untuk membantu kedatangan mereka di
sana.
Jones mengingatkan potensi bahaya itu tetap ada dan patut
diwaspadai. Kelompok teror Indonesia selalu bergantung terhadap pemicu
lokal.
Tanpa adanya konflik internal yang besar dan kondisi politik dalam negeri yang tidak stabil, pemicu itu sangat lemah.
Sumber : Vivanews
No comments:
Post a Comment