Pasukan Australia Pernah Lakukan Misi Rahasia di Kalimantan
Angkatan
Laut Australia Senin (6/1) lalu mendorong balik kapal imigran gelap
dari Afrika kembali ke perairan Indonesia. Langkah Australia ini makin
menunjukkan mereka bukan tetangga yang baik.
Pengamat Hukum
Internasional Hikmahanto Juwana mengkritisi kebijakan Australia
menghalau kapal para pencari suaka kembali ke perairan Indonesia.
Masalah Indonesia dan Australia bukan hanya soal imigran gelap. Baru
saja hubungan kedua negara menghangat karena masalah penyadapan.
Australia ketahuan menyadap Presiden SBY, Ibu Ani Yudhoyono dan sejumlah
pejabat. Selain itu Australia juga mengeluarkan travel warning ke
Indonesia.
Dulu saat era Presiden Soekarno, pasukan elite dua
negara ini pernah berhadapan di belantara Kalimantan. Tahun 1964
Soekarno mencetuskan Dwi Komando Rakyat untuk mengganyang Malaysia.
Pasukan elite ABRI seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD),
Pasukan Raiders Angkatan Darat, Korps Komando Operasi Angkatan Laut
(KKO), Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara (PGT) dan Resimen Pelopor
Kepolisian diterjunkan di perbatasan Kalimantan. Mereka diterjunkan
sebagai sukarelawan dan tak mengenakan identitas resmi ABRI.
Pasukan ini disamarkan menjadi anggota Tentara Nasional Kalimantan Utara
(TNKU). Karena ini misi rahasia, semua identitas prajurit
disembunyikan. Mereka menyusup ke perbatasan untuk menyerang patroli
askar Malaysia.
Pasukan Malaysia yang kerepotan kemudian
meminta bantuan dari Inggris. Tak tanggung-tanggung Inggris mengirim
pasukan elite Special Air Service (SAS) dan Gurkha Regiment. Masih
kurang, Inggris pun meminta bantuan. Sebagai negara pesemakmuran,
Australia dan Selandia Baru menjawab panggilan itu. Mereka turut
mengirimkan pasukan SAS.
Inggris, Australia dan New Zeland juga
tak terang-terangan menyatakan perang. Pengerahan pasukan di belantara
Kalimantan dilakukan sebagai misi rahasia. Operasi ini dinamakan Operasi
Claret.
Mereka menghadapi perlawanan tangguh dari gerilyawan
yang sebenarnya tentara Indonesia. Pasukan SAS dan Gurkha pun kerap
menyusup masuk ke daerah Indonesia untuk memburu gerilyawan.
"Berbeda dengan askar Malaysia, SAS dan Gurkha itu lebih tangguh. Mereka
yang lebih banyak kontak tembak dengan kami. Kemampuan patroli, mencari
jejak atau menyergap juga harus diakui, bagus," kata Maman, seorang
bintara pensiunan RPKAD saat berbincang dengan merdeka.com.
Dalam satu pertempuran, pasukan Indonesia berhasil melumpuhkan seorang
anggota SAS. Pemerintah Indonesia meminta tawanan itu dikirim ke
Jakarta. Ini untuk bukti, Inggris dan sekutunya terlibat dalam konflik
bersenjata di Kalimantan.
Sayangnya prajurit SAS itu keburu
meninggal sebelum dibawa ke Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di tempat.
Sementara senjata dan kalung tanda pengenalnya dikirim ke Jakarta untuk
bukti.
Konflik dengan Malaysia, Inggris, Australia dan Selandia
baru ini berakhir tahun 1966 saat Presiden Soekarno lengser. Soeharto
yang menjadi penggantinya, tak berniat meneruskan konflik dengan
Malaysia.
Laporan tak resmi, sekitar 200 anggota pasukan
gabungan Inggris tewas di Kalimantan. Sementara dari pihak ABRI
berkali-kali lipat.
Bulan Maret 2010, pemerintah Australia
memulangkan jenazah dua anggota pasukan SAS mereka. Prajurit Robert
Moncrieff dan Letnan Hudson yang tewas saat operasi Claret. 44 tahun
lalu, jenazah mereka dimakamkan warga Dayak di Kalimantan.
Kedua prajurit ini diketahui bertugas di Skadron 2 Resimen SAS. Mereka tewas dalam sebuah misi di Kalimantan tahun 1966.
Australia sendiri menjaga rapat-rapat semua hal soal Operasi Claret.
Mereka baru mau membukanya tahun 1996, atau 30 tahun setelah operasi
rahasia ini digelar di belantara Kalimantan.
Sumber : Merdeka
No comments:
Post a Comment