Friday, 27 December 2013

Pembantaian di Sudan Selatan Tewaskan 1.000 Orang

Pemimpin negara-negara Afrika Timur akan bertemu di Kenya untuk membicarakan peningkatan kekerasan di Sudah Selatan, yang telah menewaskan 1.000 orang. 

Pertemuan dilakukan sehari setelah Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir, bertemu dengan perdana menteri Kenya dan Ethiopia.

Sementara itu, PBB mengatakan pasukan perdamaian pertama diperkirakan akan tiba dalam 48 jam.

Kekerasan mulai terjadi sejak 12 hari lalu antara pasukan yang loyal kepada Kiir dan mereka yang mendukung mantan wakilnya Riek Machar. Lebih dari 50.000 masyarakat sipil telah mengungsi di kamp PBB di Sudan Selatan.

Kesempatan Damai

Pemimpin regional Afrika Timur dari delapan negara blok, yang disebut Igad, akan bertemu di ibukota Kenya, yaitu Nairobi, untuk menindaklanjuti masalah yang menjadi perhatian dalam pembicaraan dengan Presiden Kiir di ibukota Sudan Selatan, Juba.

Ethiopia menggambarkan pembicaran tersebut sebagai "sangat konstruktif dan sangat jujur".

Bagaimanapun, Menteri Informasi Sudan Selatan Makuei Lueth mengatakan kepada kantor berita Associated Press, sejauh ini belum menjalin kontak dengan Machar.

Kepala misi PBB di Sudan Selatan, Hilde Johnson, sebelumnya mendesak pemimpin politik negara "untuk memberikan peluang damai".

"Negara yang dibangun setelah konflik selama beberapa dekade," kata dia, melalui video dari Juba.

Johnson mengatakan "lebih dari 1.000" orang telah tewas sejak kekerasan dimulai 15 Desember dan jumlah korban terus meningkat.

Dia mengharapkan bantuan pasukan militer PBB dan perlengkapan penting lainnya dalam waktu 48 jam.

Johnson mengatakan pertempuran terjadi di Malakal dan Bor.

Pertempuran antara dua kelompok etnis tersebut juga berdampak pada produksi minyak, yang memberikan sumbangan kepada pendapatan pemerintah sebesar 98 persen.

"Sebagian sumber minyak berada dalam penguasaan tentara pemberontak yang loyal kepada.... Machar dan kami khawatir mereka akan menyebabkan kerusakan fasilitas dan lingkungan," kata Menteri Perminyakan Stephen Dhieu Dau kepada kantor berita Reuters. 


Sumber : Kompas

No comments:

Post a Comment