Kabinet Jepang, Kamis, diperkirakan akan menyetujui satu set rancangan
Undang-Undang untuk memperkuat peran dan ruang lingkup militernya,
mengubah posisi dari semula negara pasifis di tengah peningkatan gejolak
di Asia Pasifik.
Undang-Undang tersebut merupakan proyek Perdana Menteri Shinzo Abe yang dikenal nasionalis, yang mengatakan Jepang tidak bisa lagi mengesampingkan dasar stabilitas regional dan harus melangkah ke luar dari naungan payung keamanan Amerika Serikat.
Rancangan Undang-Undang, yang akan sampai ke anggota parlemen dalam beberapa bulan mendatang, merumuskan keputusan kabinet tahun lalu untuk memperluas kewenangan angkatan bersenjata Jepang.
Kondisi tersebut memungkinkan tentara Jepang untuk terlibat ke dalam pertempuran melindungi sekutu, yang disebut "pertahanan kolektif", sesuatu yang saat ini dilarang oleh konstitusi pasifis Jepang.
"Melindungi perdamaian dan kehidupan warga negara merupakan tanggung jawab paling penting sebuah negara," kata kepala sekretaris kabinet Yoshihide Suga kepada wartawan.
"Situasi keamanan di sekitar negara kami sangat tegang. Untuk memastikan perdamaian dan stabilitas, kami perlu memperkuat aliansi Jepang-AS dan meningkatkan kepercayaan dan kerja sama dengan sekutu di wilayah tersebut."
"Sangat penting untuk siap terhadap kemungkinan apapun. Tujuan dari RUU tersebut adalah untuk mencegah konflik terjadi."
Washington, yang memaksakan konstitusi kepada Jepang, telah lama menyerukan Tokyo untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam pakta keamanan bersama kedua negara.
Namun, masyarakat Jepang tampaknya curiga terhadap apa pun yang mengurangi komitmen pasifisme, dan bersikeras bahwa angkatan bersenjata harus digunakan hanya dalam pertahanan lingkup kecil.
Kritik terhadap langkah dalam hal keamanan negara tersebut menganggap kebijakan dapat menyeret Tokyo ke kampanye militer AS di Timur Tengah.
Abe juga menghadapi tuduhan Tiongkok bahwa pihaknya melakukan remiliterisasi secara sembunyi-sembunyi untuk kembali berperang di abad ke-20. Perdana menteri dan pendukungnya menyangkal tuduhan tersebut.
Undang-Undang, yang akan merombak 10 hukum terkait keamanan dan kemudian membuat yang baru, akan membuka jalan bagi militer ke luar negeri untuk tugas non tempur seperti bantuan bencana dan misi penjaga perdamaian PBB.
Revisi tersebut meliputi penghilangan hambatan geografis pada dukungan logistik untuk pasukan dalam "situasi yang secara signifikan akan mempengaruhi keamanan Jepang".
Revisi tersebut juga menyebutkan bahwa Jepang bisa membela sekutu "dalam situasi di mana ada risiko jelas bahwa keberadaan Jepang terancam dan hak-hak rakyatnya terganggu lewat serangan terhadap negara yang memiliki hubungan dekat dengan Jepang".
RUU secara resmi disetujui oleh blok berkuasa, yaitu Partai Demokrat Liberal dan Komeito, sebelum rapat kabinet, demikian lapor NHK.
Diskusi kabinet dilakukan ketika Jepang menjadi tuan rumah pameran senjata global untuk pertama kalinya, hasil dari pemulihan aturan larangan penjualan senjata ke luar negeri sebagai upaya untuk menopang industri senjata dalam negeri, demikian AFP.
Sumber : Antara
Undang-Undang tersebut merupakan proyek Perdana Menteri Shinzo Abe yang dikenal nasionalis, yang mengatakan Jepang tidak bisa lagi mengesampingkan dasar stabilitas regional dan harus melangkah ke luar dari naungan payung keamanan Amerika Serikat.
Rancangan Undang-Undang, yang akan sampai ke anggota parlemen dalam beberapa bulan mendatang, merumuskan keputusan kabinet tahun lalu untuk memperluas kewenangan angkatan bersenjata Jepang.
Kondisi tersebut memungkinkan tentara Jepang untuk terlibat ke dalam pertempuran melindungi sekutu, yang disebut "pertahanan kolektif", sesuatu yang saat ini dilarang oleh konstitusi pasifis Jepang.
"Melindungi perdamaian dan kehidupan warga negara merupakan tanggung jawab paling penting sebuah negara," kata kepala sekretaris kabinet Yoshihide Suga kepada wartawan.
"Situasi keamanan di sekitar negara kami sangat tegang. Untuk memastikan perdamaian dan stabilitas, kami perlu memperkuat aliansi Jepang-AS dan meningkatkan kepercayaan dan kerja sama dengan sekutu di wilayah tersebut."
"Sangat penting untuk siap terhadap kemungkinan apapun. Tujuan dari RUU tersebut adalah untuk mencegah konflik terjadi."
Washington, yang memaksakan konstitusi kepada Jepang, telah lama menyerukan Tokyo untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam pakta keamanan bersama kedua negara.
Namun, masyarakat Jepang tampaknya curiga terhadap apa pun yang mengurangi komitmen pasifisme, dan bersikeras bahwa angkatan bersenjata harus digunakan hanya dalam pertahanan lingkup kecil.
Kritik terhadap langkah dalam hal keamanan negara tersebut menganggap kebijakan dapat menyeret Tokyo ke kampanye militer AS di Timur Tengah.
Abe juga menghadapi tuduhan Tiongkok bahwa pihaknya melakukan remiliterisasi secara sembunyi-sembunyi untuk kembali berperang di abad ke-20. Perdana menteri dan pendukungnya menyangkal tuduhan tersebut.
Undang-Undang, yang akan merombak 10 hukum terkait keamanan dan kemudian membuat yang baru, akan membuka jalan bagi militer ke luar negeri untuk tugas non tempur seperti bantuan bencana dan misi penjaga perdamaian PBB.
Revisi tersebut meliputi penghilangan hambatan geografis pada dukungan logistik untuk pasukan dalam "situasi yang secara signifikan akan mempengaruhi keamanan Jepang".
Revisi tersebut juga menyebutkan bahwa Jepang bisa membela sekutu "dalam situasi di mana ada risiko jelas bahwa keberadaan Jepang terancam dan hak-hak rakyatnya terganggu lewat serangan terhadap negara yang memiliki hubungan dekat dengan Jepang".
RUU secara resmi disetujui oleh blok berkuasa, yaitu Partai Demokrat Liberal dan Komeito, sebelum rapat kabinet, demikian lapor NHK.
Diskusi kabinet dilakukan ketika Jepang menjadi tuan rumah pameran senjata global untuk pertama kalinya, hasil dari pemulihan aturan larangan penjualan senjata ke luar negeri sebagai upaya untuk menopang industri senjata dalam negeri, demikian AFP.
Sumber : Antara
No comments:
Post a Comment