Negara berkembang di berbagai belahan dunia kini tak mau lagi menjadi
sekadar pembeli senjata Rusia.
Mereka tidak mau hanya mendapat ‘perangkat senjata’, tapi juga ingin memiliki teknologi pengembangan senjata tersebut. Rusia pun harus meningkatkan jumlah dan efektivitas transaksi ofset mereka, yang menjadi syarat untuk dapat berinvestasi di negara importir.
Saat ini semakin banyak negara yang hanya mau menandatangani kontrak pembelian senjata dengan sistem transaksi ofset. Dengan sistem transaksi offset, negara-negara berkembang di Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika yang mengimpor senjata dari Rusia tak hanya
menerima ‘perangkat’ senjata, tapi juga mendapat hak untuk merakit, merancang, memodifikasi, serta memiliki lisensi untuk mengekspor kembali senjata hasil pengembangan mereka.
Biasanya, sistem transaksi ofset diterapkan dalam kontrak pembelian produk bernilai dan berteknologi tinggi. Sistem ini mengharuskan pengekspor mendirikan perusahaan patungan (joint venture) agar dapat mentransfer teknologi pada negara pembeli produk tersebut.
Eksportir juga akan bepartisipasi dalam proyek-proyek penting terkait pengembangan teknologi produk, pembangunan infrastruktur, bahkan menyuntik dana investasi secara langsung.
Menurut Kluchnikov, negara-negara berkembang kini mulai
meningkatkan akses langsung terhadap rancangan teknis senjata. Rusia pun
diuntungkan dengan terciptanya joint ventures (JV).
Pakar senjata menilai kerja sama militer teknis Rusia dan India
merupakan awal dari perubahan global. Mantan pemimpin redaksi jurnal
industri Arsenal Denis Kungurov menyampaikan, penjualan senjata dengan
metode yang digunakan Rusia mungkin akan dipertimbangkan oleh mitra
Barat, termasuk AS dan sekutunya.
“AS dapat menyediakan teknologi militer terbaru dan generasi masa depan, sama seperti Jepang yang memiliki teknologi produksi senjata canggih modern. Malah, Barat tergolong lebih matang untuk melakukan produksi senjata berteknologi tinggi dengan India. Dalam kasus ini, Rusia tertinggal karena belum bersedia berbagi teknologi dengan pabrik independen dalam beberapa proyek gabungan,” kata Kungurov.
“Transaksi ofset tidak terlalu efektif dan menguntungkan. Sistem
ini memang bisa memperluas pasar, tapi perlu perhitungan untung-rugi
serta koordinasi yang matang agar tidak merugikan,” kata
Mikhail Barabanov, peneliti di Pusat Analisis Strategi dan Teknologi.
Menurut Barabanov, sistem transaksi ofset juga melanggar kerangka perdagangan bebas.
Mereka tidak mau hanya mendapat ‘perangkat senjata’, tapi juga ingin memiliki teknologi pengembangan senjata tersebut. Rusia pun harus meningkatkan jumlah dan efektivitas transaksi ofset mereka, yang menjadi syarat untuk dapat berinvestasi di negara importir.
Saat ini semakin banyak negara yang hanya mau menandatangani kontrak pembelian senjata dengan sistem transaksi ofset. Dengan sistem transaksi offset, negara-negara berkembang di Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika yang mengimpor senjata dari Rusia tak hanya
menerima ‘perangkat’ senjata, tapi juga mendapat hak untuk merakit, merancang, memodifikasi, serta memiliki lisensi untuk mengekspor kembali senjata hasil pengembangan mereka.
Biasanya, sistem transaksi ofset diterapkan dalam kontrak pembelian produk bernilai dan berteknologi tinggi. Sistem ini mengharuskan pengekspor mendirikan perusahaan patungan (joint venture) agar dapat mentransfer teknologi pada negara pembeli produk tersebut.
Eksportir juga akan bepartisipasi dalam proyek-proyek penting terkait pengembangan teknologi produk, pembangunan infrastruktur, bahkan menyuntik dana investasi secara langsung.
Kremlin telah menyadari tren jual-beli senjata yang
tengah berkembang ini. Dalam pertemuan Komisi Kerja Sama Militer Teknis
yang diselenggarakan pada April 2014 lalu, Presiden Putin pun membahas
pentingnya mempelajari penggunaan metode keuangan dan pemasaran modern,
termasuk penggunaan sistem transaksi ofset.
Pakar militer independen Vladimir Kluchnikov
menyebutkan transaksi ofset secara umum dipraktikkan di seluruh dunia.
Penggunaan sistem transaksi tersebut membuat perusahaan senjata dapat
memperluas pasar dan negara pembeli pun memiliki teknologi pengembangan
senjata tersebut.
“Pabrik senjata Rusia saat ini sedang bekerja
mati-matian, dan pembuatan JV atau perusahaan patungan dapat mengurangi
beban kerja produsen senjata Rusia. Pekerja dari Rusia dapat pergi ke
negara-negara tersebut untuk bekerja. Sejauh ini, sistem ini sangat
menguntungkan dan menjanjikan bagi kita,” kata Kluchnikov.
Pernyataan tersebut senada dengan laporan publik
tahunan perusahaan negara Rostec pada 2013. Laporan tersebut menyebutkan
jumlah joint ventures menjanjikan yang telah
didirikan, di antaranya pembuatan pusat perawatan teknis dan renovasi
helikopter Rusia di Brasil dan Afrika Selatan.
Perluas Pasar
Rusia dan India telah menyepakati transfer lisensi
dan rancangan teknis pesawat Su-30MKI (salah satu proyek terbaik MTC),
RD-33, dan mesin pesawat AL-31. Rusia juga menyediakan pendampingan
teknis dalam produksi senjata di India. Saat ini, mereka tengah
mengerjakan pembuatan misil Brahmos dan pesawat tempur generasi kelima.
“AS dapat menyediakan teknologi militer terbaru dan generasi masa depan, sama seperti Jepang yang memiliki teknologi produksi senjata canggih modern. Malah, Barat tergolong lebih matang untuk melakukan produksi senjata berteknologi tinggi dengan India. Dalam kasus ini, Rusia tertinggal karena belum bersedia berbagi teknologi dengan pabrik independen dalam beberapa proyek gabungan,” kata Kungurov.
Suap yang Dilegalisasi
Namun, sistem transaksi ofset dikritik keras oleh pemerintah AS dan Uni Eropa,
serta oleh WTO dan beberapa LSM. Transaksi ofset dinilai sebagai
‘praktik buruk’, karena kesepakatan tersebut mendistorsi struktur pasar
senjata dan merupakan bentuk suap ‘legal’ dalam hal ekspor senjata ke
negara-negara lain.
Menurut Barabanov, sistem transaksi ofset juga melanggar kerangka perdagangan bebas.
Meski demikian, jumlah transaski ofset diperkirakan
akan terus bertambah seiring pertumbuhan pasar senjata dunia.
Pembeli
senjata juga mecoba memperkuat perekonomian mereka melalui pertolongan
ofset, dan bentuk transaksi ofset yang mereka inginkan semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Lembaga analisis Barat memprediksi, jumlah
transaksi ofset akan mencapai sekitar 500 miliar dolar AS pada 2016.
Sumber : RBTH
No comments:
Post a Comment