Pesawat tempur generasi '80-an F-5E Tiger II di Skuadron Udara 14 TNI AU akan segera diganti dan salah satu pihak yang berminat memasok pesawat baru adalah SAAB JAS39 Gripen serie.
"Kami menawarkan penggantinya, JAS39 Gripen serie dengan opsi seluas mungkin," kata Vice President Head of SAAB Indonesia, Peter Calrqvist.
"Mulai dari skema pembayaran dan pengadaan, transfer teknologi, memberi asistensi menuju kemandirian sistem logistik, pemeliharaan, dan oprasionalisasi Gripen, dan lain sebagainya. Ini komitmen kami kepada Indonesia," kata Carlqvist, dalam percakapan di Jakarta, belum lama ini.
"Kami menawarkan penggantinya, JAS39 Gripen serie dengan opsi seluas mungkin," kata Vice President Head of SAAB Indonesia, Peter Calrqvist.
"Mulai dari skema pembayaran dan pengadaan, transfer teknologi, memberi asistensi menuju kemandirian sistem logistik, pemeliharaan, dan oprasionalisasi Gripen, dan lain sebagainya. Ini komitmen kami kepada Indonesia," kata Carlqvist, dalam percakapan di Jakarta, belum lama ini.
"Kami menawarkan sistem terpadu," kata dia.
JAS39 Gripen serie akan bersaing dengan Sukhoi Su-35 Flanker E (Rusia), Dassault F1 Rafale (Prancis), dan Boeing-McDonnel Douglas F/A 18E/F Super Hornet (Amerika Serikat). TNI AU telah berpengalaman mengoperasikan pesawat tempur Amerika Serikat (di antaranya F-16A/B Fighting Falcon, OV-10F Bronco, dan F-5E/F Tiger II) dan Rusia (mulai dari masa Tupolev Tu-16 Badger dan kini Sukhoi Su-27/30MKI).
Di Asia Tenggara, Thailand merupakan negara operator JAS39 Gripen pertama; mereka memilih 12 unit JAS39E/F Gripen yang mulai berdatangan tahun depan.
Untuk Indonesia, SAAB juga membuka opsi jika Indonesia berminat membeli barisan terbaru paling andal, JAS39 Gripen NG, yang memiliki teknologi paling canggih dari semua Gripen serie.
Carlqvist menyatakan, "Kami bukan sekedar menjual pesawat tempur, melainkan sistem pertahanan udara terpadu yang ampuh dengan biaya operasi sangat rendah namun efektif. Sebagai ilustrasi, Gripen sangat mudah dioperasikan, tidak memerlukan pangkalan udara karena sistem pendukungnya bisa digerakkan secara bergerak, bahkan dari jalan tol. Ini yang kami terapkan di Swedia," katanya.
Semua unit dan personel pendukung Gripen dalam kekuatan satu skuadron udara penuh, katanya, bisa digeser ke mana saja sesuai keperluan.
"Pangkalan udara pasti diincar paling awal dalam peperangan. Bagaimana jika landasan udara disabotase atau dibom? Ini salah satu hal penting yang kami antisipasi dalam pengembangan JAS39 Gripen serie," katanya.
Dia mengemukakan Gripen dikembangkan dengan berbagai teknologi canggih yang pas dengan keperluan.
Di antaranya adalah pijakan "pangkalan udara" yang mobile dan kesanggupan tiap unit Gripen untuk saling berkomunikasi dan bertukar data, baik di antara pesawat tempur itu, pangkalan udara, komando kendali, pusat logistik, dan lain sebagainya.
Dia mencontohkan, "Jika tiba-tiba ada target yang harus dimusnahkan namun Gripen yang Anda terbangkan tidak memiliki sistem kesenjatan yang pas dengan keperluan itu, maka pusat kendali bisa mengetahui Gripen terdekat yang sanggup melaksanakan misi itu."
Jarak tempuh Gripen juga bisa dikompensasi dengan kehadiran "pangkalan-pangkalan udara" mobile itu.
Dia mencontohkan jalan tol Jagorawi yang bisa dipergunakan untuk keperluan itu.
Indonesia sangat kaya dengan pangkalan udara dengan infrastruktur yang bisa diterapkan bagi operasionalisasi Gripen.
"Meloloskan dan memasang kembali mesin Gripen cuma perlu 1 jam saja. Melengkapi semua sistem peluru kendali dan kesenjataannya hingga lengkap cuma 10 menit saja, termasuk mengisi ulang bahan bakarnya," kata dia.
Tentang penawaran JAS39 Gripen serie ini, Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Ewa Polano, berkata, "Kami jelas sangat senang melihat Brazil memilih Gripen, disusul Thailand dan kabarnya Malaysia berminat juga. Bahkan Brazil juga kami bantu membangun pabrik suku cadangnya di Sao Paulo sebagai bentuk komitmen kami tentang transfer teknologi kesenjataan ini."
Polano, yang akan segera menempati pos barunya di Doha, Qatar, mengutarakan bahwa Indonesia juga akan mendapat perlakuan sama tentang semua hal itu.
"Swiss juga sedang mengadakan referendum tentang pengadaan Gripen ini, dan salah satu aspek penting yang kami tawarkan adalah hal ini," kata dia.
JAS39 Gripen serie akan bersaing dengan Sukhoi Su-35 Flanker E (Rusia), Dassault F1 Rafale (Prancis), dan Boeing-McDonnel Douglas F/A 18E/F Super Hornet (Amerika Serikat). TNI AU telah berpengalaman mengoperasikan pesawat tempur Amerika Serikat (di antaranya F-16A/B Fighting Falcon, OV-10F Bronco, dan F-5E/F Tiger II) dan Rusia (mulai dari masa Tupolev Tu-16 Badger dan kini Sukhoi Su-27/30MKI).
Di Asia Tenggara, Thailand merupakan negara operator JAS39 Gripen pertama; mereka memilih 12 unit JAS39E/F Gripen yang mulai berdatangan tahun depan.
Untuk Indonesia, SAAB juga membuka opsi jika Indonesia berminat membeli barisan terbaru paling andal, JAS39 Gripen NG, yang memiliki teknologi paling canggih dari semua Gripen serie.
Carlqvist menyatakan, "Kami bukan sekedar menjual pesawat tempur, melainkan sistem pertahanan udara terpadu yang ampuh dengan biaya operasi sangat rendah namun efektif. Sebagai ilustrasi, Gripen sangat mudah dioperasikan, tidak memerlukan pangkalan udara karena sistem pendukungnya bisa digerakkan secara bergerak, bahkan dari jalan tol. Ini yang kami terapkan di Swedia," katanya.
Semua unit dan personel pendukung Gripen dalam kekuatan satu skuadron udara penuh, katanya, bisa digeser ke mana saja sesuai keperluan.
"Pangkalan udara pasti diincar paling awal dalam peperangan. Bagaimana jika landasan udara disabotase atau dibom? Ini salah satu hal penting yang kami antisipasi dalam pengembangan JAS39 Gripen serie," katanya.
Dia mengemukakan Gripen dikembangkan dengan berbagai teknologi canggih yang pas dengan keperluan.
Di antaranya adalah pijakan "pangkalan udara" yang mobile dan kesanggupan tiap unit Gripen untuk saling berkomunikasi dan bertukar data, baik di antara pesawat tempur itu, pangkalan udara, komando kendali, pusat logistik, dan lain sebagainya.
Dia mencontohkan, "Jika tiba-tiba ada target yang harus dimusnahkan namun Gripen yang Anda terbangkan tidak memiliki sistem kesenjatan yang pas dengan keperluan itu, maka pusat kendali bisa mengetahui Gripen terdekat yang sanggup melaksanakan misi itu."
Jarak tempuh Gripen juga bisa dikompensasi dengan kehadiran "pangkalan-pangkalan udara" mobile itu.
Dia mencontohkan jalan tol Jagorawi yang bisa dipergunakan untuk keperluan itu.
Indonesia sangat kaya dengan pangkalan udara dengan infrastruktur yang bisa diterapkan bagi operasionalisasi Gripen.
"Meloloskan dan memasang kembali mesin Gripen cuma perlu 1 jam saja. Melengkapi semua sistem peluru kendali dan kesenjataannya hingga lengkap cuma 10 menit saja, termasuk mengisi ulang bahan bakarnya," kata dia.
Tentang penawaran JAS39 Gripen serie ini, Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Ewa Polano, berkata, "Kami jelas sangat senang melihat Brazil memilih Gripen, disusul Thailand dan kabarnya Malaysia berminat juga. Bahkan Brazil juga kami bantu membangun pabrik suku cadangnya di Sao Paulo sebagai bentuk komitmen kami tentang transfer teknologi kesenjataan ini."
Polano, yang akan segera menempati pos barunya di Doha, Qatar, mengutarakan bahwa Indonesia juga akan mendapat perlakuan sama tentang semua hal itu.
"Swiss juga sedang mengadakan referendum tentang pengadaan Gripen ini, dan salah satu aspek penting yang kami tawarkan adalah hal ini," kata dia.
Sumber : Antara
No comments:
Post a Comment