Penyintas, sejarawan dan personil Kementerian Pertahanan terkejut mendapati bangkai Kapal Perang HMAS Perth Australia yang ditenggelamkan oleh Jepang pada tahun 1942, telah dihancurkan oleh pencari besi tua komersial di perairan Indonesia.
Kapal perang yang tenggelam di Selat Sunda antara Sumatera dan Jawa ini merupakan tempat peristirahatan terakhir dari 355 pelaut Australia yang ikut tenggelam bersama kapal itu setelah dihantam torpedo Jepang berkali-kali.
Namun kawasan itu tidak pernah dilindungi sebagai lokasi pemakaman pahlawan perang resmi.
Australia dan Indonesia juga belum meratifikasi konvensi UNESCO mengenai warisan kekayaan bawah laut, perjanjian nasional yang mengikat kedua negara untuk saling melindungi situs tersebut.
Situs bangkai kapal rusak parah
Pejabat Australia telah berusaha merahasiakan skandal ini, karena khawatir bisa memperburuk ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Australia.
Setidaknya sejak September, penyelam telah membuat laporan resmi mengenai terjadinya kerusakan besar-besaran pada bangkai kapal yang dilakukan oleh alat pengeruk besar terapung yang dilengkapi dengan cakar pengeruk.
Laporan-laporan tersebut telah disampaikan kepada kedutaan Australia di Jakarta, pejabat lokal di Departemen Lingkungan dan Warisan Sejarah, serta Departemen Pertahanan
Sejumlah tongkang pencari rongsokan terlihat beroperasi dikawasan Selat Sunda. Salah satunya sempat difoto pada bulan Oktober tengah melakukan pengerukan bangkai kapal selam Belanda - O-16 - yang tenggelam di lepas pantai Malaysia.
Sam Collett, seorang penyelam profesional berbasis di Filipina, mengatakan kepada ABC ia terakhir mengunjungi bangkai kapal HMAS Perth pada bulan September 2013.
"Dibandingkan dengan perjalanan saya sebelumnya, tingkat skala kerusakan yang dilakukan pencari besi tua komersial itu sangat jelas," katanya.
“Ketika kami sedang berperahu dalam perjalanan kembali ke marina di Anyer kami melewati tongkang pencari besi tua dengan alat pengeruk (crane) dan alat pencakar serta tumpukan besar besi tua yang tampaknya seperti dari reruntuhan di dek," katanya.
Andrew Fock, penyelam ekspedisi pemerhati HMAS Perth, mengatakan ada kerusakan parah di situs bangkai kapal tersebut.
"Dari rekaman video yang kami miliki terlihat sebagian besar struktur inti kapal sudah hampir semuanya hilang, senjata di menara depan juga sudah tidak ada, begitu juga sebagian besar dek atas kapal itu juga sudah hilang.”
Laporan mengenai kerusakan ini sudah disampaikan ke Kementerian Pertahanan sejak oktober lalu bersama dengan rincian kerusakan. Laporan yang dilihat oleh ABC itu mengatakan ada kemungkinan besar tulang belulang para pelaut Australia masih berada didalam kapal dan mereka beresiko ikut dirusak oleh para pencari barang rongsokan ini.
ABC juga membaca laporan lain yang menyebutkan soal penggunaan peledak oleh para pencari rongsokan untuk mematahkan kapal agar mudah untuk dikeruk dari dasar laut.
Menanggapi laporan ini Kementerian Pertahanan memperingatkan agar dilakukan tindakan sesegera mungkin untuk mencegah perusakan itu berlanjut.
"Pengrusakan sangat mungkin berlanjut, kecuali diambil tindakan, maka para pencari rongsokan itu akan kembali ke situs itu apalagi jika sebelumnya mereka memang sudah diuntungkan," kata dokumen tersebut.
Veteran desak Canberra bertindak
Gavin Campbell adalah pejabat HMAS Perth terakhir yang masih hidup. Pria berusia 92 tahun itu hidup tenang di pinggiran kota Sydney. Campbell menjadi emosional mendengar berita itu .
"Mengerikan sekali mendengar apa yang terjadi dengan kapal saya. Ini sesuatu yang tidak boleh dibiarkan terjadi meskipun kenyataannya belum ada kesepakatan antara kedua pemerintah, " katanya .
"Sisa-sisa kru masih ada disana dan karenanya situs itu harus diperlakukan sebagai kuburan perang
Jika Angkatan Laut dan pemerintah telah menyadari hal itu, sangat memalukan sekali jika mereka untuk tidak mengambil tindakan untuk menghentikannya."
Desakan serupa diungkapkan Pattie Wright, yang menulis biografi salah satu korban terkenal di kapal perang itu, Ray Parkin.
"Canberra perlu mengklaim kapal ini sebagai kuburan perang, situs itu tidak berbeda dengan kuburan perang di Villers - Bretonneux atau Kokoda." katanya.
Dia juga menyarankan Angkatan Laut menciptakan sebuah "makam pelaut yang tidak diketahui. "
Seorang pejabat Pertahanan melaporkan baru-baru ini melalui email .
"Angkatan Laut menyadari situasi dan telah mengirim pesan singkat kepada Menteri. Upaya Australia sangat terbatas dalam hal ini karena terjadi di kawasan perairan orang lain, sehingga mungkin akan turun ke pendekatan ke berbagai mitra Indonesia untuk mereka bantuan. "
Departemen Pertahanan hingga berita ini diturunkan belum bersedia berkomentar. .
Namun kawasan itu tidak pernah dilindungi sebagai lokasi pemakaman pahlawan perang resmi.
Australia dan Indonesia juga belum meratifikasi konvensi UNESCO mengenai warisan kekayaan bawah laut, perjanjian nasional yang mengikat kedua negara untuk saling melindungi situs tersebut.
Situs bangkai kapal rusak parah
Pejabat Australia telah berusaha merahasiakan skandal ini, karena khawatir bisa memperburuk ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Australia.
Setidaknya sejak September, penyelam telah membuat laporan resmi mengenai terjadinya kerusakan besar-besaran pada bangkai kapal yang dilakukan oleh alat pengeruk besar terapung yang dilengkapi dengan cakar pengeruk.
Laporan-laporan tersebut telah disampaikan kepada kedutaan Australia di Jakarta, pejabat lokal di Departemen Lingkungan dan Warisan Sejarah, serta Departemen Pertahanan
Sejumlah tongkang pencari rongsokan terlihat beroperasi dikawasan Selat Sunda. Salah satunya sempat difoto pada bulan Oktober tengah melakukan pengerukan bangkai kapal selam Belanda - O-16 - yang tenggelam di lepas pantai Malaysia.
Sam Collett, seorang penyelam profesional berbasis di Filipina, mengatakan kepada ABC ia terakhir mengunjungi bangkai kapal HMAS Perth pada bulan September 2013.
"Dibandingkan dengan perjalanan saya sebelumnya, tingkat skala kerusakan yang dilakukan pencari besi tua komersial itu sangat jelas," katanya.
“Ketika kami sedang berperahu dalam perjalanan kembali ke marina di Anyer kami melewati tongkang pencari besi tua dengan alat pengeruk (crane) dan alat pencakar serta tumpukan besar besi tua yang tampaknya seperti dari reruntuhan di dek," katanya.
Andrew Fock, penyelam ekspedisi pemerhati HMAS Perth, mengatakan ada kerusakan parah di situs bangkai kapal tersebut.
"Dari rekaman video yang kami miliki terlihat sebagian besar struktur inti kapal sudah hampir semuanya hilang, senjata di menara depan juga sudah tidak ada, begitu juga sebagian besar dek atas kapal itu juga sudah hilang.”
Laporan mengenai kerusakan ini sudah disampaikan ke Kementerian Pertahanan sejak oktober lalu bersama dengan rincian kerusakan. Laporan yang dilihat oleh ABC itu mengatakan ada kemungkinan besar tulang belulang para pelaut Australia masih berada didalam kapal dan mereka beresiko ikut dirusak oleh para pencari barang rongsokan ini.
ABC juga membaca laporan lain yang menyebutkan soal penggunaan peledak oleh para pencari rongsokan untuk mematahkan kapal agar mudah untuk dikeruk dari dasar laut.
Menanggapi laporan ini Kementerian Pertahanan memperingatkan agar dilakukan tindakan sesegera mungkin untuk mencegah perusakan itu berlanjut.
"Pengrusakan sangat mungkin berlanjut, kecuali diambil tindakan, maka para pencari rongsokan itu akan kembali ke situs itu apalagi jika sebelumnya mereka memang sudah diuntungkan," kata dokumen tersebut.
Veteran desak Canberra bertindak
Gavin Campbell adalah pejabat HMAS Perth terakhir yang masih hidup. Pria berusia 92 tahun itu hidup tenang di pinggiran kota Sydney. Campbell menjadi emosional mendengar berita itu .
"Mengerikan sekali mendengar apa yang terjadi dengan kapal saya. Ini sesuatu yang tidak boleh dibiarkan terjadi meskipun kenyataannya belum ada kesepakatan antara kedua pemerintah, " katanya .
"Sisa-sisa kru masih ada disana dan karenanya situs itu harus diperlakukan sebagai kuburan perang
Jika Angkatan Laut dan pemerintah telah menyadari hal itu, sangat memalukan sekali jika mereka untuk tidak mengambil tindakan untuk menghentikannya."
Desakan serupa diungkapkan Pattie Wright, yang menulis biografi salah satu korban terkenal di kapal perang itu, Ray Parkin.
"Canberra perlu mengklaim kapal ini sebagai kuburan perang, situs itu tidak berbeda dengan kuburan perang di Villers - Bretonneux atau Kokoda." katanya.
Dia juga menyarankan Angkatan Laut menciptakan sebuah "makam pelaut yang tidak diketahui. "
Seorang pejabat Pertahanan melaporkan baru-baru ini melalui email .
"Angkatan Laut menyadari situasi dan telah mengirim pesan singkat kepada Menteri. Upaya Australia sangat terbatas dalam hal ini karena terjadi di kawasan perairan orang lain, sehingga mungkin akan turun ke pendekatan ke berbagai mitra Indonesia untuk mereka bantuan. "
Departemen Pertahanan hingga berita ini diturunkan belum bersedia berkomentar. .
Sumber : Radioaustralia
No comments:
Post a Comment