Militer
Amerika Serikat (AS) selama berpuluh-puluh tahun memelihara kedigdayaan
melalui keberadaan peluru kendali dan teknologi networked targeting.
Namun, kini negara-negara pengekspor baru senjata memiliki tawaran lebih
menarik dengan harga bersaing. Hal demikian berpotensi mengancam AS dan
melemahkan pengaruh Barat.
Demi memahami kondisi di atas, coba simak industri otomotif global.
Hyundai Motors, perusahaan otomotif asal Korea Selatan, menjadi pesaing
serius di kancah global melalui penyebarluasan teknologi, buruh murah,
dan produk yang bukan terbaik, namun “cukup baik” sehingga relatif
murah. Keberhasilan mereka belum nyata pada 2001. Namun, pada 2015,
pasar menunjukkan bukti. Produk Hyundai laris. Proses serupa terjadi
dalam industri pertahanan dunia.
Berikut beberapa contoh: Sekutu NATO seperti Turki dan Polandia tidak
membeli artileri terbaru dari AS atau bahkan Jerman. Mereka melirik
Samsung. Perusahaan Korea Selatan lain, Daewoo, merakit kapal pemasok AL
Inggris. Korea Aerospace Industries mengekspor jet tempur TA-50 dan
FA-50 ke Irak, Indonesia, dan Filipina.
F-16 adalah jet tempur termurah
AS; pesawat tempur baru Korea, Pakistan, dan India lebih murah 33-50%
dari jet tersebut.
Jika ingin lebih hemat hingga 67%, A-29 Super Tucano
asal Brasil telah memenuhi standar dunia. Pesanan mendadak dari Uni
Emirat Arab agaknya menandakan jet jenis itu tak lama lagi akan
bertempur di langit Yaman.
Ancaman jangka panjang itu melibatkan penyebaran senjata presisi yang
dapat menghantam sasaran apapun, sejauh terpantau alat.
Selain ekspor
Rusia dan Cina, Turki telah mulai mengekspor peluru kendali baru. Rudal
antikapal Mach 3 Brahmos milik India pun memiliki pemandu berbasis GPS
supercanggih. Pakistan telah melengkapi armada jet tempur JF-17 dengan
rudal pembasmi radar MAR-1.
Kecakapan Amerika dalam melakukan serangan mata-mata berhasil
menundukkan Irak dalam dua perang. Kini, militer Barat harus berencana
menghadapi versi lain kemampuan itu.
Selain
menggoyang industri pertahanan AS, maraknya keberadaan senjata
berkualitas lumayan dengan harga bersaing akan menjadi ganjalan bagi
diplomasi dan hubungan militer Barat dalam dua hal.
Pertama, sulit melebih-lebihkan nilai atas hubungan personal dengan militer asing yang kerap bermula lewat program pelatihan. Seperti layaknya yang terjadi di Pakistan, Mesir, dan negara lain, perwira menengah militer di kemudian hari kemungkinan dapat menjadi presiden.
Kedua, banjir pilihan di pasar global akan menyulitkan embargo senjata canggih tertentu untuk negara tertentu. Hal tersebut mengurangi pengaruh Barat di seluruh dunia. Pada dasawarsa 1990-an, suara sumbang Barat dapat memberikan dampak tertentu atas militer suatu negara. Namun, pada 2020-an, hal itu pasti dirasa ganjil.
Pertama, sulit melebih-lebihkan nilai atas hubungan personal dengan militer asing yang kerap bermula lewat program pelatihan. Seperti layaknya yang terjadi di Pakistan, Mesir, dan negara lain, perwira menengah militer di kemudian hari kemungkinan dapat menjadi presiden.
Kedua, banjir pilihan di pasar global akan menyulitkan embargo senjata canggih tertentu untuk negara tertentu. Hal tersebut mengurangi pengaruh Barat di seluruh dunia. Pada dasawarsa 1990-an, suara sumbang Barat dapat memberikan dampak tertentu atas militer suatu negara. Namun, pada 2020-an, hal itu pasti dirasa ganjil.
Bagaimana reaksi AS? Teknologi. November lalu, Menteri Pertahanan AS
Chuck Hagel mengumumkan strategi ketiga Pentagon yang dirancang untuk
mengembangkan teknologi baru sebagai kelanjutan dua strategi
pertama—senjata nuklir dan peluru kendali.
Pentagon berusaha
mempertahankan posisinya dengan berinvestasi pada ranah seperti perang
siber; komputerisasi canggih serta teknologi big data; robotika dan
senjata otomatis; teknik manufaktur canggih seperti cetak 3-D; dan
senjata elektromagnetis, guna mendongkrak serangan AL dan menggantikan
sistem pertahanan darat.
Saat ini, strategi ketiga baru sekadar wacana. Pertanyaannya adalah
apakah jika dilaksanakan, hal itu akan cukup. Negara-negara yang
perusahaan swastanya harus menguasai big data dapat mengalih-pindahkan
kecakapan semacam itu kepada militernya. Begitu pun cyberwarfare,
seperti yang telah dipamerkan Iran dan Korea Utara.
Radar pasif
berteknologi komputer supercepat serta berteknologi big data mungkin
dapat mengatasi teknologi “siluman” kiwari. Sementara itu, Daulah
Islamiyah telah memanfaatkan drone komersial ringan, dan buku karya
Peter W. Singer berjudul “Wired for War” berisi 87 negara yang memiliki
program robot militer.
Barat tidak dapat menghentikan proses “Hyundai-isasi” ini, tapi akan ada
beberapa variabel lain yang akan menghambat lajunya. Meski demikian,
Hyundai-isasi sedang menjalar.
Pemerintah Barat memiliki sejumlah opsi kebijakan untuk menangani
sejumlah ancaman militer dan diplomatis dari proses Hyundai-isasi.
Tetapi, terdapat satu kepastian: Reaksi serius harus dapat melampaui
urusan teknologi.
Sumber : Indowj
No comments:
Post a Comment