Saturday, 6 December 2014

Hikayat Serdadu Cyber Korut

Langit kota Washington terang benderang malam itu. Ratusan ribu pasang mata di National Mall dibuat takjub oleh warna-warni kembang api yang menghujani angkasa tak henti-henti. Amerika Serikat saat itu tengah merayakan ulang tahun kemerdekaan mereka ke-233, dua tahun silam. 

Sekitar 10 ribu km dari hiruk pikuk kota Washington DC, sebuah roket meluncur dari Korea Utara. Gerak roket itu dideteksi oleh satelit Amerika Serikat. Komputer milik pemerintah AS di Colorado mengenalnya sebagai roket jarak dekat yang diluncurkan ke arah laut.

Sejenak kemudian, Korea Utara (Korut) kembali meluncurkan roket lain. Lalu roket lain susul menyusul melesat,  terus hingga roket ke-7. Tentu saja Korut bukan hendak ikut merayakan kemerdekaan AS, 4 Juli 2009. Yang pasti, negara komunis itu ingin menarik perhatian. 

Tak berhenti sampai di situ, aksi Korut kemudian berlanjut di ranah cyber. Sehari sebelum kemerdekaan AS itu, sebuah pesan tersandi diluncurkan oleh seorang agen Korut kepada sekitar 40 ribu komputer terinfeksi oleh virus botnet, di seluruh dunia.

Pesan tersandi itu mengandung set instruksi sederhana yang memerintahkan kepada komputer terinfeksi virus, untuk mulai menghujani beberapa situs penting di AS dan Korea Selatan dengan trafik data. 

Serangan ini lazim dalam perang cyber, dikenal Distributed Denial of Service atau disingkat DDoS. Kendati Korut dikenal negara paling primitif dalam hal infrastruktur internet, nyatanya mereka punya tim handal dalam penyerangan dan sabotase di dunia cyber.

Bagi Korut, perang cyber memang menyediakan keuntungan asimetrik. “Hingga kini masih sedikit server Korut terhubung internet, sehingga membuatnya kebal serangan cyber,” kata Kim Heung-kwang,  profesor ilmu komputer yang sempat melatih pasukan cyber Korut, kepada situs Al Jazeera. Di lain pihak, Korsel dan musuh Korut lainnya, akan mengalami kekacauan bila sistem komputer mereka berhasil dirusak. 

Menyerang bank

Pada Juli itu sejumlah situs web AS sempat terkena serangan hingga kebanjiran 1 juta permintaan trafik per detik. Akibatnya, server web milik departeman AS kelebihan beban, dan situs web mereka tak bisa diakses. 

Seperti digambarkan oleh buku "Cyber War, The Next Threat to National Security and What to Do About It” (Richard A Klarke dan Robert K Knake, 2010), saat itu tak kurang dari situs web Departemen Keamanan Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Secret Service, Komisi Perdagangan Federal, serta Departemen Transportasi AS sempat lumpuh antara 4 Juli sampai 9 Juli 2009. 

Bahkan situs-situs web bursa NASDAQ, New York Mercantile Exchange, New York Stock Exchange, dan Washington Post juga lumpuh. Korea Utara juga menyerang situs web White House, walau tak berhasil melumpuhkannya. Sebab, situs web White House memiliki ‘mirror’ di 20 ribu server tersebar di seluruh dunia. Serangan itu hanya merusak situs web White House di Asia. 

Pada 9 Juli 2009 serangan cyber itu juga mengarah kepada situs web di Korsel. Antara 30 ribu hingga 60 ribu komputer terinfeksi virus 'diperalat' menyerang situs-situs web perbankan Korsel, juga sebuah perusahaan keamanan internet Korea Selatan.

Pada hari berikutnya, Korut malah mengerahkan serangan lebih besar. Sejak pukul 6 petang 10 Juli 2009,  sekitar 166 ribu komputer bot berasal 74 negara diarahkan membombardir situs web pemerintah Korsel, dan bank-bank mereka.

Tanpa disadari pemiliknya, ribuan komputer terinfeksi virus itu, akan menghubungi server pusat kendali setiap 3 menit sekali, untuk meminta instruksi alamat situs web korban. Setelah dilacak, ternyata serangan itu dikoordinasikan dari delapan pusat server kendali di Korea Selatan, Amerika Serikat, Jerman, Austria, dan Georgia. 
Bahkan delapan server itu dikendalikan oleh satu server berlokasi di Brighton, England. Bukan berarti sutradara serangan ini tengah duduk di depan komputer di pinggiran pantai Brighton. Intelijen Korea Selatan menyimpulkan serangan Juli itu dilancarkan oleh unit kecil tentara hacker Korut bernama Unit 110. 

Dikendalikan intelijen

Unit 110, hanyalah salah satu dari sejumlah unit perang cyber milik Korut. Selain unit ini, Departemen Rahasia Musuh memiliki angkatan cyber yang mengkhususkan diri pada peperangan informasi lewat internet bernama Unit 204. Kekuatannya sekitar 100 hacker. Sementara Departemen Investigasi  Pusat Partai juga memiliki satuan cyber lebih kecil tapi efektif bernama Unit 35.

Di antara unit-unit tadi, Korut juga punya sebuah unit perang cyber gabungan yang terbesar dan terbaik, Unit 121. Unit itu bermarkas di wilayah Moonshin-dong dekat Sungai Taedong Pyongyang. Ia dibawahi langsung oleh Biro Umum Pengintaian agen mata-mata Korut.

Awalnya, unit ini diperkuat sekitar 600 hacker. Rekrutmen besar-besaran pun dilakukan, dan kini anggota skuadnya menjadi 3000 orang. Mereka terlatih menyabot jaringan komando, kontrol, dan komunikasi militer Korea Selatan. 
Unit ini juga punya perwakilannya di China, karena koneksi Internet di Korea Utara sangat terbatas, dan sangat mudah dikenal. Kabarnya, mereka menyewa markas di Shanghai Hotel di kota Dandong, di perbatasan China dengan Korut. Di hotel itu, mereka menyewa empat lantai. 

Unit lainnya konon menyewa sejumlah lantai di Myohyang Hotel, di kota Sunyang. Beberapa agen sempat terlihat menggelar kabel serat optic, dan perangkat jaringan. Total, Korut punya antara 600- 1000 agen cyber bekerja dalam jaringan sel di China, yang dibawahi komandan militer berpangkat Letnan Kolonel. 

Serdadu cyber

Korut merekrut kader cyber itu sejak mereka masih siswa di sekolah dasar.  Para siswa berprestasi di seantero Korut diseleksi untuk dididik sebagai sebagai hacker handal. "Ada sistem perekrutan piramida. Anak-anak pandai di seluruh negeri ini yang menguasai matematika, dan kemampuan analisa, dipilih dan dikelompokkan di Keumseong," kata Kim Heung-kwang. 

Setelah lulus dari Keumseong mereka dikirim ke universitas, dan institut teknologi top seperti Kim Il Sung University, atau Kim Chaek University of Technology. Mereka juga akan dididik setahun di China, atau Rusia memperkokoh pengetahuan hacking dan kemampuan teknis lain. 

Setelah itu mereka akan ditempatkan di berbagai unit sebagai cyberwarrior, kata Kim. Para cyberwarrior ini difasilitasi kemudahan hidup. Bila lulus nilai tertinggi, bagi orang tuanya masih  tinggal di daerah, akan diberikan kesempatan tinggal di Pyongyang.

Rezim Kim Jong-il juga memberikan fasilitas rumah di Pyongyang bagi hacker yang telah berkeluarga. Plus subsidi makanan, dan upah cukup besar selama mereka berlatih di luar negeri. “Rumahnya memang standar, namun bagi orang Korut, itu adalah tempat yang baik untuk ditinggali,” kata Kim.

Mereka juga mendapatkan akses tak terbatas tentang dunia luar. Menurut Kim, para hacker itu memiliki keyakinan kuat terhadap Partai berkuasa. Standar hidup yang terjamin, kesempatan pergi ke luar negeri, menjadi bagian dari elit, adalah kebanggan yang sulit mereka tampik.

Dengan kondisi mayoritas bangsa Korut yang masih kesulitan pangan dan energi, tentu fasilitas seperti  itu adalah kemewahan luar biasa. Apalagi, Kim menjelaskan "mereka tak bisa memastikan kehidupan di luar Korea Utara akan lebih baik dari yang mereka raih saat ini."

Sumber : Viva

No comments:

Post a Comment