Langit kota Washington
terang benderang malam itu. Ratusan ribu pasang mata di National Mall
dibuat takjub oleh warna-warni kembang api yang menghujani angkasa tak
henti-henti. Amerika Serikat saat itu tengah merayakan ulang tahun
kemerdekaan mereka ke-233, dua tahun silam.
Dengan kondisi mayoritas
bangsa Korut yang masih kesulitan pangan dan energi, tentu fasilitas
seperti itu adalah kemewahan luar biasa. Apalagi, Kim menjelaskan
"mereka tak bisa memastikan kehidupan di luar Korea Utara akan lebih
baik dari yang mereka raih saat ini."
Sumber : Viva
Sekitar 10 ribu km dari
hiruk pikuk kota Washington DC, sebuah roket meluncur dari Korea Utara.
Gerak roket itu dideteksi oleh satelit Amerika Serikat. Komputer milik
pemerintah AS di Colorado mengenalnya sebagai roket jarak dekat yang
diluncurkan ke arah laut.
Sejenak kemudian, Korea
Utara (Korut) kembali meluncurkan roket lain. Lalu roket lain susul
menyusul melesat, terus hingga roket ke-7. Tentu saja Korut bukan
hendak ikut merayakan kemerdekaan AS, 4 Juli 2009. Yang pasti, negara
komunis itu ingin menarik perhatian.
Tak berhenti sampai di
situ, aksi Korut kemudian berlanjut di ranah cyber. Sehari sebelum
kemerdekaan AS itu, sebuah pesan tersandi diluncurkan oleh seorang agen
Korut kepada sekitar 40 ribu komputer terinfeksi oleh virus botnet, di
seluruh dunia.
Pesan tersandi itu
mengandung set instruksi sederhana yang memerintahkan kepada komputer
terinfeksi virus, untuk mulai menghujani beberapa situs penting di AS
dan Korea Selatan dengan trafik data.
Serangan ini lazim dalam
perang cyber, dikenal Distributed Denial of Service atau disingkat DDoS.
Kendati Korut dikenal negara paling primitif dalam hal infrastruktur
internet, nyatanya mereka punya tim handal dalam penyerangan dan
sabotase di dunia cyber.
Bagi Korut, perang cyber
memang menyediakan keuntungan asimetrik. “Hingga kini masih sedikit
server Korut terhubung internet, sehingga membuatnya kebal serangan
cyber,” kata Kim Heung-kwang, profesor ilmu komputer yang sempat
melatih pasukan cyber Korut, kepada situs Al Jazeera. Di lain pihak,
Korsel dan musuh Korut lainnya, akan mengalami kekacauan bila sistem
komputer mereka berhasil dirusak.
Menyerang bank
Pada Juli itu sejumlah
situs web AS sempat terkena serangan hingga kebanjiran 1 juta permintaan
trafik per detik. Akibatnya, server web milik departeman AS kelebihan
beban, dan situs web mereka tak bisa diakses.
Seperti digambarkan oleh
buku "Cyber War, The Next Threat to National Security and What to Do
About It” (Richard A Klarke dan Robert K Knake, 2010), saat itu tak
kurang dari situs web Departemen Keamanan Dalam Negeri, Departemen
Keuangan, Secret Service, Komisi Perdagangan Federal, serta Departemen
Transportasi AS sempat lumpuh antara 4 Juli sampai 9 Juli 2009.
Bahkan situs-situs web
bursa NASDAQ, New York Mercantile Exchange, New York Stock Exchange, dan
Washington Post juga lumpuh. Korea Utara juga menyerang situs web White
House, walau tak berhasil melumpuhkannya. Sebab, situs web White House
memiliki ‘mirror’ di 20 ribu server tersebar di seluruh dunia. Serangan
itu hanya merusak situs web White House di Asia.
Pada 9 Juli 2009 serangan
cyber itu juga mengarah kepada situs web di Korsel. Antara 30 ribu
hingga 60 ribu komputer terinfeksi virus 'diperalat' menyerang
situs-situs web perbankan Korsel, juga sebuah perusahaan keamanan
internet Korea Selatan.
Pada hari berikutnya,
Korut malah mengerahkan serangan lebih besar. Sejak pukul 6 petang 10
Juli 2009, sekitar 166 ribu komputer bot berasal 74 negara diarahkan
membombardir situs web pemerintah Korsel, dan bank-bank mereka.
Tanpa disadari
pemiliknya, ribuan komputer terinfeksi virus itu, akan menghubungi
server pusat kendali setiap 3 menit sekali, untuk meminta instruksi
alamat situs web korban. Setelah dilacak, ternyata serangan itu
dikoordinasikan dari delapan pusat server kendali di Korea Selatan,
Amerika Serikat, Jerman, Austria, dan Georgia.
Bahkan delapan server itu
dikendalikan oleh satu server berlokasi di Brighton, England. Bukan
berarti sutradara serangan ini tengah duduk di depan komputer di
pinggiran pantai Brighton. Intelijen Korea Selatan menyimpulkan serangan
Juli itu dilancarkan oleh unit kecil tentara hacker Korut bernama Unit
110.
Dikendalikan intelijen
Unit 110, hanyalah salah
satu dari sejumlah unit perang cyber milik Korut. Selain unit ini,
Departemen Rahasia Musuh memiliki angkatan cyber yang mengkhususkan diri
pada peperangan informasi lewat internet bernama Unit 204. Kekuatannya
sekitar 100 hacker. Sementara Departemen Investigasi Pusat Partai juga
memiliki satuan cyber lebih kecil tapi efektif bernama Unit 35.
Di antara unit-unit tadi,
Korut juga punya sebuah unit perang cyber gabungan yang terbesar dan
terbaik, Unit 121. Unit itu bermarkas di wilayah Moonshin-dong dekat
Sungai Taedong Pyongyang. Ia dibawahi langsung oleh Biro Umum
Pengintaian agen mata-mata Korut.
Awalnya, unit ini
diperkuat sekitar 600 hacker. Rekrutmen besar-besaran pun dilakukan, dan
kini anggota skuadnya menjadi 3000 orang. Mereka terlatih menyabot
jaringan komando, kontrol, dan komunikasi militer Korea Selatan.
Unit ini juga punya
perwakilannya di China, karena koneksi Internet di Korea Utara sangat
terbatas, dan sangat mudah dikenal. Kabarnya, mereka menyewa markas di
Shanghai Hotel di kota Dandong, di perbatasan China dengan Korut. Di
hotel itu, mereka menyewa empat lantai.
Unit lainnya konon
menyewa sejumlah lantai di Myohyang Hotel, di kota Sunyang. Beberapa
agen sempat terlihat menggelar kabel serat optic, dan perangkat
jaringan. Total, Korut punya antara 600- 1000 agen cyber bekerja dalam
jaringan sel di China, yang dibawahi komandan militer berpangkat Letnan
Kolonel.
Serdadu cyber
Korut merekrut kader
cyber itu sejak mereka masih siswa di sekolah dasar. Para siswa
berprestasi di seantero Korut diseleksi untuk dididik sebagai sebagai
hacker handal. "Ada sistem perekrutan piramida. Anak-anak pandai di
seluruh negeri ini yang menguasai matematika, dan kemampuan analisa,
dipilih dan dikelompokkan di Keumseong," kata Kim Heung-kwang.
Setelah lulus dari
Keumseong mereka dikirim ke universitas, dan institut teknologi top
seperti Kim Il Sung University, atau Kim Chaek University of Technology.
Mereka juga akan dididik setahun di China, atau Rusia memperkokoh
pengetahuan hacking dan kemampuan teknis lain.
Setelah itu mereka akan
ditempatkan di berbagai unit sebagai cyberwarrior, kata Kim. Para
cyberwarrior ini difasilitasi kemudahan hidup. Bila lulus nilai
tertinggi, bagi orang tuanya masih tinggal di daerah, akan diberikan
kesempatan tinggal di Pyongyang.
Rezim Kim Jong-il juga
memberikan fasilitas rumah di Pyongyang bagi hacker yang telah
berkeluarga. Plus subsidi makanan, dan upah cukup besar selama mereka
berlatih di luar negeri. “Rumahnya memang standar, namun bagi orang
Korut, itu adalah tempat yang baik untuk ditinggali,” kata Kim.
Mereka juga mendapatkan
akses tak terbatas tentang dunia luar. Menurut Kim, para hacker itu
memiliki keyakinan kuat terhadap Partai berkuasa. Standar hidup yang
terjamin, kesempatan pergi ke luar negeri, menjadi bagian dari elit,
adalah kebanggan yang sulit mereka tampik.
Sumber : Viva
No comments:
Post a Comment