Friday, 16 May 2014

Kobarkan Perang Senyap, Kiev Desak Barat Hukum Rusia

Pemerintah Ukraina menuduh Rusia mengobarkan perang senyap atau perang tersembunyi di Ukraina timur. 

Untuk itu, Ukraina mendesak negara-negara Barat menghukum Rusia dengan sanksi yang sangat keras.
 
Hal itu diungkapkan Menteri Luar Negeri Ukraina, Andriy Deshchytsia, dalam sebuah wawancara di Berlin dengan media Jerman, Die Welt,yang dilansir Sabtu (17/5/2014). Dia juga menuduh Presiden Rusia, Vladimir Putin, memicu pemberontakan di Ukraina timur.
 
”Barat harus menjatuhkan sanksi yang lebih berat yang menyasar sektor-sektor ekonomi tertentu seperti perbankan dan menyasar para pengambil kebijakan di Rusia,” kata Deshchytsia. ”Ini juga penting untuk menjatuhkan sanksi pencegahan sebelum Rusia tidak merusak lebih banyak,” katanya lagi.
 
Menurutnya, Rusia tidak akan berhenti melakukan intervensi di Luhansk dan Donetsk, Ukraina timur. Jika Rusia tidak bersedia bertanggungjawab untuk mendestabilisasi wilayah (Ukraina timur), Deshchytsia, mendesak pemerintah Jerman bertindak lebih keras terhadap Rusia.
 
Jerman memiliki hubungan ekonomi yang dekat Rusia. Jika Kanselir Jerman menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, dia yakin, sektor ekonomi Rusia akan terpukul.
 
Deshchytsia melanjutkan, Putin tidak berencana untuk menyerang Ukraina secara terbuka, karena dia takut dengan konsekuensi lebih lanjut. ”Karena itu, Kremlin mengirim ‘teroris' untuk menciptakan kerusuhan dan membawa wilayah timur negara ini (Ukraina) di bawah kontrolnya,” imbuh dia.
 
Tak sekadar menuduh, pejabat tinggi Ukraina itu mencontohkan, para pembrontak di Ukraina timur menggunakan senjata yang secara eksklusif berasal dari tentara Rusia. Senjata-senjata itu, tidak bisa didapatkan di tempat lain.
 
”Penjaga perbatasan menangkap penyelundup yang ingin membawa senjata ini ke Ukraina. Selain itu, kami telah menyadap sejumlah percakapan telepon antara pemimpin separatis dengan agen Rusia yang membuktikan bahwa mereka mendapatkan pesanan dari Rusia,” kata Deshchytsia, seperti dikutip Reuters.


Sumber : Sindo

No comments:

Post a Comment